Beranda | Artikel
Beberapa Contoh Syariat Islam Yang Ditolak Karena Dianggap Sebagai Budaya Arab
Selasa, 28 Maret 2017

BEBERAPA CONTOH SYARIAT ISAM YANG DITOLAK KARENA DIANGGAP SEBAGAI BUDAYA ARAB

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Penolakan terhadap hukum-hukum Islam dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kita dengar dan ditemukan di tangah-tengah masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, tentu dengan berbagai macam alasan dan argumentasi cacat yang mereka kemukakan. Misalnya anggapan mereka bahwa hukum Islam tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi manusia di jaman sekarang, atau alasan hukum Islam terlalu kolot dan kaku sehingga tidak bisa fleksibel mengikuti perkembangan kebutuhan manusia di era modern.

Padahal, bukankah Allâh Azza wa Jalla yang menurunkan syariat Islam maha menciptakan segala sesuatu, termasuk menciptakan semua waktu dan tempat, serta maha mengetahui semua kondisi dan perubahan yang terjadi pada mahluk ciptaan-Nya, sehingga semua hukum dalam syariat Islam yang diturunkan-Nya sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap zaman dan tempat?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allâh yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) Maha Mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-Mulk/67:14]

Dan bukankah Allâh Azza wa Jalla maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satupun ke-baikan yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu kemuliaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya? Maha suci Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:

لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Rabb-ku  tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Rabb-mu  tidak mungkin lupa [Maryam/19:64]

Di antara alasan penolakan mereka yang populer adalah anggapan bahwa hukum-hukum Islam tersebut identik dengan budaya bangsa ‘Arab, sehingga tidak perlu diikuti oleh selain orang ‘Arab. Ironisnya, anggapan keliru ini tidak hanya dilontarkan oleh orang-orang awam yang bodoh, akan tetapi juga diucapkan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai tokoh Islam dan bahkan punya latar belakang pendidikan Islam yang cukup. Mereka tidak sadar atau pura-pura lupa bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk semua manusia dan jin dengan berbagai suku bangsa dan golongan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” [Al-Furqân/25:1]

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: Hai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua [al-A’râf/7:158]

Para Ulama Ahli tafsir dari kalangan Sahabat Radhiyallahu anhum dan Tabi’in, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Imam Qatadah al-Bashri menafsirkan ayat di atas bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua golongan manusia dan jin, baik dari kalangan bangsa ‘Arab maupun ‘Ajam (selain bangsa ‘Arab)[1].

Bahkan ini merupakan salah satu keistimewaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak kepada Nabi-Nabi lainnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dulu para Nabi q diutus kepada kaumnya sendiri sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia[2]

Oleh karena itu, hukum asalnya dalam Islam tidak ada keutamaan dan kemuliaan di sisi Allâh Azza wa Jalla pada suku bangsa atau golongan tertentu di atas yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [Al-Hujurât/49:13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ عَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang ‘Arab di atas orang ‘Ajam (non ‘Arab), tidak keutamaan bagi orang ajam di atas orang arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan.[3]

Lebih dari itu, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi semua orang yang menganut agama selain Islam sejak zaman diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa yang telah sampai kepadanya ajakan untuk mengikuti agama Islam kemudian dia menolaknya, maka dia termasuk penghuni neraka Jahannam pada hari kiamat kelak, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Allâh yang jiwaku (ada) di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari umat ini mendengarkan (sampai kepadanya) tentang aku (syariat Islam yang aku bawa), baik dia orang yang beragama Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka (di akhirat nanti).[4]

Jawaban Umum Atas Anggapan Yang Keliru Dan Argumentasi Yang Cacat
Di antara jawaban umum dalam hal ini adalah sebagai berikut:

1. Hukum asal syariat Islam dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla adalah sebagai teladan kebaikan untuk diikuti oleh orang-orang yang beriman dalam rangka meraih kedudukan mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [Al-Ahzâb/33:21]

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allâh Azza wa Jalla.[5]

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[6]

Termasuk dalam hal ini adalah semua perkara yang diperintahkan, dianjurkan atau dijelaskan keutamaannya dalam ayat al-Qur’an atau hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meskipun perkara tersebut asalnya berhubungan dengan urusan dunia, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal itu dikhususkan bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Agama Islam asalnya adalah mengikuti (petunjuk) dan meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan segala sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dan anjurkan kepada kita. Kita meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyariatkan bagi kita untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini berbeda dengan perkara-perkara yang hanya dikhususkan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (maka tidak disyariatkan bagi kita untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalm hal ini).”[7]

Sebagai contoh dalam hal ini:

  1. Perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan serta larangan melakukannya dengan tangan kiri[8]
  2. Anjuran untuk memakai pakaian berwarna putih bagi laki-laki[9]
  3. Anjuran untuk selalu tersenyum di hadapan sesama Muslim[10]
  4. Tidak menyerupai orang-orang kafir dalam pakaian atau penampilan mereka[11]
  5. Tidak memakai pakaian yang melewati mata kaki bagi laki-laki[12] dan lain-lain.

Semua ini meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia, akan tetapi karena ada perintah atau anjuran khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, maka hal-hal tersebut dalam Islam hukumnya menjadi wajib atau minimal keutamaan yang dianjurkan.

2. Kalaulah kita terima bahwa hal-hal yang mereka sebutkan itu adalah budaya bangsa ‘Arab, maka ini bukanlah alasan untuk menolaknya. Karena di antara kebiasaan dan budaya orang-orang ‘Arab ada yang baik sehingga pantas untuk kita ikuti dan ada yang buruk sehingga tidak pantas untuk diikuti, sebagaimana kebiasan dan budaya bangsa kita?

Agama Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada manusia untuk meluruskan kesalahan dan keburukan yang ada pada diri mereka serta membenarkan dan menyempurnakan sifat-sifat baik yang sudah ada pada diri mereka. Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (sifat-sifat) yang mulia (baik)[13].

Maka ajaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin membenarkan dan melestarikan budaya dan kebiasaan buruk bangsa ‘Arab, bahkan budaya buruk mereka sangat ditentang dengan keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits yang shahih.

Di antaranya, sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ دَمٍ أَضَعُ دَمَ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

Ketahuilah bahwa segala sesuatu (yang buruk) dari (zaman) Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini[14]. Darah-darah (yang ditumpahkan) pada zaman Jahiliyah dibatalkan (tidak boleh dituntut) dan darah yang pertama kali aku batalkan adalah darah Rabî’ah bin al-Harits[15] (anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Dan riba (bunga uang) di zaman Jahiliyah dibatalkan dan riba yang pertama kali aku batalkan adalah riba al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib (juga anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sungguh semuanya dibatalkan (dalam Islam).[16]

Juga dalam riwayat yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang empat macam bentuk pernikahan di zaman jahiliyah, yang pertama pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini (pernikahan yang dibenarkan dalam Islam, yaitu) seorang laki-laki yang datang melamar seorang perempuan kepada walinya, lalu dia memberikan mahar kepada perempuan tersebut dan menikahinya… Kemudian ‘Aisyah Radhiyalhu anhum menyebutkan tiga macam bentuk pernikahan jahiliyah lainnya yang bertentangan dengan syariat Islam, lalu beliau Radhiyalahu  berkata: “…Kemudian ketika Allâh mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan (membawa) kebenaran, maka Nabi n memusnahkan semua (bentuk) pernikahan Jahiliyah, kecuali pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini.”[17]

Beberapa Contoh Syariat Islam Yang Ditolak Beserta Jawabannya
1. Mempelajari bahasa Arab untuk memahami petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Petunjuk Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan-Nya dengan bahasa yang bisa dipahami manusia, untuk memudahkan mereka memahami dan merenungkan petunjuk-Nya dan agar tidak ada alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran ketika telah sampai dan jelas baginya petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Bahasa yang dipilih oleh Allâh Azza wa Jalla untuk menjadi bahasa wahyu-Nya adalah bahasa Arab yang fasih, karena Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya yang terakhir dari kalangan bangsa Arab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian (bisa) memahaminya [Yûsuf/12:2].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴿١٩٢﴾نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ﴿١٩٣﴾عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ﴿١٩٤﴾بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dengan dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril Alaihissallam ), ke dalam hatimu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” [Asy-Syu’arâ’/26:192-195]

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allâh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana [Ibrâhîm/14:4]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat kedua di atas, beliau berkata, “Artinya : al-Qur’an yang kami turunkan kepadamu (wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, kami turunkan dengan bahasamu (yaitu) bahasa Arab yang fasih, lengkap dan sempurna, supaya (kandungan maknanya) jelas dan gamblang, serta memutus ‘udzur (alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran) dan menegakkan hujjah (argumentasi kebenaran petunjuk-Nya) sekaligus sebagai dalil untuk menjelaskan kebenaran”[18].

Maka berdasarkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang semakna, dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa Arab dalam Islam bukanlah identik dengan budaya bangsa Arab atau sekedar senang dengan bahasa mereka, tapi ini berhubungan erat dengan bahasa al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan sarana untuk memahami dan merenungkan dengan benar petunjuk keduanya. Tentu saja semua ini merupakan kewajiban utama setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Berdasarkan inilah, para ulama Ahlus sunnah menegaskan bahwa mempelajari bahasa Arab itu wajib bagi kaum Muslimin. Karena dengan itulah, mereka bisa memahami dengan benar petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesunguhnya bahasa Arab itu sendiri termasuk (bagian dari) agama Islam dan memahaminya adalah kewajiban yang harus dilakukan, karena sesungguhnya memahami al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib (hukumnya), sementara keduanya tidak akan dipahami (dengan benar) kecuali dengan memahami bahasa Arab. Suatu perkara yang menyebabkan (penunaian) kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya, maka hukum perkara tersebut wajib.”[19]

2. Memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutup seluruh aurat perempuan ketika keluar rumah
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu disakiti. Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Al-Ahzâb:33/59].

Dalam ayat ini terdapat perintah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada semua wanita yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir untuk memakai pakaian dan jilbab yang menutupi aurat mereka. Perintah ini menunjukkan hal tersebut hukumnya wajib dalam Islam, sehingga bisa dipastikan bahwa perintah memakai jilbab syar’i ini bukanlah karena kaitannya dengan budaya atau kebiasaan wanita-wanita Arab, tapi ini adalah perintah Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi kebiasaan baik bagi wanita-wanita yang beriman.

Terlebih lagi, dalam ayat di atas, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hikmah agung dan kebaikan besar yang akan mereka dapatkan dengan melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu penjagaan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita sehingga mereka tidak diganggu dan disakiti ketika keluar rumah.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Karena, jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi ada orang yang menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afîfah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan atau melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[20].

Oleh karena itu, dalam beberapa hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ancaman yang sangat keras bagi wanita-wanita yang melanggar perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu dengan keluar rumah tanpa menutup aurat, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggelari mereka dengan sebutan ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’.

Dari Abu Hurairah urairah zzz bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا

 Ada dua golongan termasuk penghuni neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul atau menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang… Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium wanginya, padahal wanginya bisa tercium dari jarak segini dan segini (jarak yang sangat jauh)[21]

Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat”[22]

Maksud dari ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’ adalah wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya ketika keluar rumah dengan memakai pakaian yang menutupi sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian yang lain. Ada juga yang mengartikannya dengan wanita-wanita yang memakai busana yang tipis atau ketat sehingga memperlihatkan warna kulitnya atau bentuk tubuhnya.[23]

3. Membiarkankan Jenggot Tumbuh dan Mencukur Kumis Bagi Laki-Laki
Perkara ini juga diperintahkan secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits shahih.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh[24]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh, selisihilah orang-orang Majusi[25].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membiarkankan jenggot tumbuh dan mencukur kumis bagi laki-laki, meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia dan mungkin identik dengan kebiasaan orang-orang Arab yang memang rata-rata punya jenggot panjang, akan tetapi karena ada perintah khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, maka jadilah hukumnya dalam Islam disyariatkan bahkan diwajibkan. Karena hukum asal dari sebuah perintah itu menunjukkan hukum wajib. Apalagi perintah ini juga digandengkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana dalam hadits kedua[26].

4. Perempuan Menetap di Rumah dan Tidak Sering Keluar Rumah, Kecuali Jika Ada Kepentingan Yang Dibenarkan Dalam Syariat Islam
Ini juga diperintahkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Jadi ini jelas merupakan perintah yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan bagi kaum Muslimah yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ini budaya Arab yang hanya berlaku bagi para wanita Arab dan tidak berlaku bagi selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ 

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita jahiliyah yang dahulu” [Al-Ahzâb/33:33]

Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetap di rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada para istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”[27].

Maka menetapnya seorang perempuan di rumah merupakan ‘azîmatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam) dan kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Itupun dengan syarat memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutupi semua auratnya[28].

Karena seringnya wanita keluar rumah merupakan sebab munculnya fitnah dan kerusakan, dan ini tentu dilarang keras dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allâh Azza wa Jalla ) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[29].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”[30].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “(Hukum) asalnya adalah seorang wanita tidak boleh keluar rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhâri (no. 4517) ketika turun firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu [Al-Ahzâb/33:33]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sungguh Allâh telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)”[31].

5. Tidak Berjabat Tangan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram
Yang satu ini barangkali tidak identik dengan budaya dan kebiasaan orang-orang Arab, tapi mungkin lebih dekat dengan kebiasaan sebagian masyarakat di negeri kita, yaitu bersalam-salaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, di setiap acara, pertemuan dan perayaan hari-hari tertentu.

Meskipun mungkin asalnya bisa dikatakan sebagai budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat, akan tetapi dalam Islam sangat dilarang dengan keras karena kerusakan dan fitnah besar yang timbul sebagai akibatnya.

Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini yang mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”[32].

Banyak hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan larangan dan keharaman hal ini, di antaranya:

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma (istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) :
Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan tentang baiat kaum wanita (Mukminah) kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan Beliau, tapi Beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu”[33]. Imam abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari  madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:

  • Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.
  • Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain.[34]

Dari Umaimah bintu Ruqaiqah Radhiyallahu anhuma dia berkata:
Aku pernah mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para wanita (Muslimah) untuk membaiat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah [35].

Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu :
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)”[36].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini (juga) menunjukkan haramnya berjabat tengan dengan perempuan (selain istri atau mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan ini di zaman sekarang telah menimpa banyak kaum Muslimin, yang di antara mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam). Seandainya mereka mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru) menganggap keburukan tersebut halal, dengan berbagai macam cara dan pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allâh Azza wa Jalla tentang asingnya ajaran Islam”[37].

Kesimpulannya, agama Islam melarang keras dan mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan keburukan besar.

PENUTUP
Demikianlah dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk memotivasi mereka agar menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, guna menjamin keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat kelak.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr (3/711)
[2] HR. Al-Bukhâri (1/128) dan Muslim (no. 521).
[3] HR. Ahmad (5/411) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 2700).
[4] HR. Muslim (no. 153)
[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau, hlm. 481
[6] Tafsir Ibnu Katsir, 3/626
[7] Kitab Majmû’ul Fatâwa, 27/504
[8] Sebagaimana dalam HR. Muslim, no. 2020
[9] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 3878 dan at-Tirmidzi, 3/319), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[10] Sebagaimana at-Tirmidzi, 4/339 dan Ibnu Hibban, no. 474, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[11] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 4031 dan Ahmad, 2/50. Hadits ini dinyatakan shahih Syaikh al-Albani.
[12] Sebagaimana dalam HR. Al-Bukhâri, 5/2182
[13] HR. Ahmad, 2/381 dan al-Hakim (2/670), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[14] dibatalkan atau ditiadakan dalam Islam
[15] Disusui di kabilah  Bani Sa’ad kemudian dia dibunuh oleh Hudzail
[16] HR. Ibnu Majah, no. 3074 dan Ibnu Khuzaimah, 4/251, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Syaikh al-Albani.
[17] HR. Al-Bukhari, 5/2182
[18] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 3/462
[19] Kitab Iqtidhâ ash Shirâthil Mustaqîm, hlm. 207
[20] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 489
[21] HR. Muslim, no. 2128
[22] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, 9/131 dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab  Jilbâbul Mar’atil muslimah, hlm. 125
[23] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarhu shahih Muslim, 14/110
[24] HR. Al-Bukhâri, 5/2209 dan Muslim, no. 259
[25] HR. Muslim, no. 260
[26] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani dalam kitab Âdâbuz zifâf , hlm. 137.
[27] Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 14/174
[28] Lihat penjelasan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 87
[29] HR Ibnu Khuzaimah, no. 1685; Ibnu Hibbân, no. 5599 dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul  Ausath, no. 2890, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah, no. 2688
[30] Kitab Majmû’al fatâwa syaikh Bin Bâz, 4/308
[31] Al-Fatâwâ al-Imârâtiyyah
[32] HR. Al-Bukhâri, no. 4808 dan Muslim, no. 2740
[33] HR. Muslim, 3/1489, no. 1866), Bab: Bagaimana (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) Membaiat Wanita.
[34] Lihat Syarah shahih Muslim, 13/10
[35] HR. an-Nasa’i, 7/149, no. 4181; At-Tirmidzi, 4/151, no. 1597 dan Ibnu Mâjah, 2/ 959, no. 2874. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar, Fathul Bari 13/204
[36] HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr, no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad, 2/227; dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawâ-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab Faidhul Qadîr 5/258, dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, no. 226
[37] Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/225, no. 226


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6575-beberapa-contoh-syariat-islam-yang-ditolak-karena-dianggap-sebagai-budaya-arab.html